Text
Rezeki Nomplok dari Kontes Blog Tip dan Trik Cerdas Menang Kontes Blog
Buku ini ditulis oleh seorang blogger yang juga Petualang ACI 2011 Tim Sumatera 1, Harris Maulana. Untuk itulah, buku ini menarik bagi saya.
Buku ini tipis. 110 halaman. Dimensinya juga kecil. 110 x 180. Ringan di tangan. Bisa dibaca dalam sekali duduk. Tak ubahnya novelet.
Namun, jangan remehkan isinya. Buku ini terbilang cukup komprehensif. Tanpa banyak teori. Sebab, penulisnya yang telah memenangkan berabagai kompetisi blog ini, lebih banyak membagi pengalamannya. Bahasanya pun a la narablog. Mudah dicerna. Bertutur tanpa menggurui.
“Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud menggurui tapi lebih kepada berbagi sesama blogger, agar blogger lebih bersemangat menulis, khususnya untuk mengikuti lomba blog dan berhasil memenangkannya” (hal. 6)
Ini pernyataan rendah hati sang penulis yang saya sukai.
Jika buku-buku panduan blog yang selama ini beredar di pasaran lebih banyak membahas hal teknis, seperti bagaimana membuat blog, menghiasnya, dan sebagainya, maka buku ini sedikit berbeda. Penekanan isinya lebih pada memenangkan sebuah kontes blog yang memang banyak sekali bertebaran di jagad maya.
Penulis, misalnya, membagi tips bagaimana mencari kontes blog yang berkualitas. Selain lewat mesin pencari paling ngetop, Google, informasi lomba juga bisa kita telusuri melalui situs jejaring sosial, baik itu Twitter maupun Facebook. Jujur, saat membaca bagian ini, pikiran saya seolah dibukakan. Saya tak pernah menelusuri info lomba blog lewat fitur search di jejaring sosial. Maka, kelar membaca bagian ini, saya langsung mempraktekkannya. Dan, terbukti!
Sebab, selama ini lomba blog hanya saya ketahui lewat jejaring di Multiply – saya lebih intens ngeblog di sini, lebih dari lima tahun. MPers, panggilan akrab bagi blogger Multiply, bermurah hati membagikan info lomba. Saya, jujur, terbantu sekali. Lebih-lebih saat saya ingin mengasah kemampuan menulis dan menguji sejauh mana kualitas tulisan saya.
Di sub-bab “Waspada Mengikuti Lomba Blog”, saya setuju dengan penulis agar blogger selektif dan hati-hati mengikuti kompetisi blog. Sebab, ada penyelenggara lomba yang mengajukan persyaratan ‘berlimpah’ sementara hadiahnya tak seberapa.
Juga perhatikan penyelenggaranya, apakah profesional atau tidak. Ini bisa diamati dari kredibilitas, perusahaan yang menyelenggarakan, jumlah hadiah, dan cara penentuan pemenangnya. Tanpa tedeng aling-aling, penulis mengatakan, “Say No to Like Contest!” alias kontes blog yang penentuan pemenangnya berdasakan jumlah ‘like’ di Facebook. Ya, saya pun amat malas mengikuti lomba ‘banyakan ‘like” ini.
Satu lagi hal menarik yang saya peroleh dari buku ini, yaitu pada bab “Bereksplorasi dan Mulailah Menulis”. Penulis memaparkan secara singkat, agar blogger:
– Eksplorasi dengan memaksimalkan fitur pencarian di Google
– Eksplorasi dengan situs referensi dari luar negeri
– Eksplorasi dengan referensi selain internet
– Membuat judul yang menarik
– Membuat tulisan yang benar-benar padat berisi dan bermutu
– Penutup yang konklusif
– Menggunakan foto sebagai pelengkap dan penguat tulisan
– Dan lain-lain.
Di bagian “Isi yang Benar-Benar Pada Berisi dan Bermutu”, penulis menyarankan agar blogger mempertajam tulisannya dengan prinsip jurnalistik 6W + 1 H. 6 W??? ‘W’ satunya lagi, apa? Silakan temukan jawabannya di buku ini.
Saya sempat melompati beberapa halaman, terutama panduan praktis membuat blognya. Namun, bagi calon blogger, bagian ini saya rasa paling krusial kendati tak dibahas mendalam.
Kompletnya buku ini adalah karena disertai dengan contoh-contoh tulisan sang penulis yang telah memenangkan kontes. Namun, ada satu yang perlu dikoreksi, yaitu contoh tulisan yang berjudul “Ibu Sri Mulyani: Penerus Ibu Kartini Era Globalisasi”. Paragraf pertama tulisan berbunyi begini:
“Sampai detik ini, Ibu Kartini merupakan tokoh emansipasi wanita yang sudah diakui kegigihannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender dengan kaum laki-laki terutama dalam bidang pendidikan. Perjuangan ini kemudian dilanjutkan oleh Ibu Dewi Sartika pada jaman pra kemerdekaan dengan mendirikan sekolah keputrian pertama di Indonesia” (hal. 93).
Koreksi saya adalah sekuensi atau urutan waktu perjuangan tokoh ini. Hasil pembacaan saya, justru lebih dulu Dewi Sartika mendirikan sekolah keputrian resmi. Barulah Kartini menyusulnya, itu pun tidak formal.
Saya merasakan keharuan saat membaca contoh tulisan Harris Maulana yang berjudul “Kejutan untuk Anak dan Istri Tercinta” (hal.79). Tulisan ini ternyata berhasil merebut dewan juri, yakni HEBEL, perusahaan yang memproduksi bahan bangunan praktis, yang mana Harris Maulana kemudian diganjar dengan hadiah berupa rumah dua lantai seluas 6×4 meter.
Dari awal membaca buku, saya yakin bahwa beragam prestasi penulis dalam kompetisi blog ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan juri Aku Cinta Indonesia Detikcom meloloskannya sebagai salah satu Petualang ACI 2011.
Selamat, Kang Harris! Buku ini bergizi. Saya ‘sehat’ membacanya.
Tidak tersedia versi lain